Abdul Hamid Aly
Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris Pasca Sarjana Universitas Islam Malang
E-mail: Sayidhasan5@gmail.com
Abstrak
Prinsip dasar pendidikan
dan pembelajaran yang demokratis adalah memberi kepercayaan dan kesempatan
kepada seluruh masyarakat untuk mengembangkan potensinya, karakternya,
pengetahuannya, keterampilannya, dan kreativitasnya untuk mencapai cita-cita
bersama bangsa ini. Pendidikan yang demokratis dalam pengertian
luas hendaklah mampu memberdayakan semua kelompok (kelompok budaya, agama,
organisasi, anak cacat, kelompok suku terasing, kelompok profesi, masyarakat
desa tertinggal dan terpencil) tanpa batas-batas yang spesifik.Pendidikan
humanis sebagai pemikiran pendidikan telah berkembang dengan mengadopsi
prinsip-prinsip pendidikan dari dua aliran, yaitu progresivisme dan
eksistensialisme.Tetapi pendidikan humanis juga memperoleh dukungan dari para
ahli psikologi humanistik dan ahli pendidikan kritis.
Kata Kunci :pendidikan,demokratis,humanis
Pendahuluan
Sistem pendidikan dan pembelajaran yang
demokratis dan humanistis adalah sistem pendidikan yang memberikan ruang gerak
yang luas dan penghargaan yang tinggi akan keunikan kelompok masyarakat dan
keunikan setiap individu peserta didik. Setiap anak dilahirkan dalam sebuah
matriks sosial tertentu, memiliki budaya yang berbeda-beda, agama yang berbeda,
kecerdasan dan daya adaptasi yang berbeda, serta kondisi psikologi dan
fisikologi yang berbeda. Semua kelompok masyarakat dan peserta didik yang
berbeda tersebut perlu dikembangkan dan diberdayakan karakternya,
pengetahuannya, keterampilannya, dan ktrtifitasnya. Dalam konsep Intelegensi Multipel setiap individu memiliki 8 kecerdasan mengolah
informasi, tapi hanya ada satu kecerdasan yang dominan di dalam setiap individu
Finlandia
adalah salah satu negara yang menerapkan sistem pendidikan yang demokratis dan
humanis.Hasil survey internasional PISA pada tahun 2007 yang menempatkan
prestasi peserta didik asal Finlandia dengan peringkat terbaik sedunia.Banyak
kalangan begitu ingin tahu mengapa negara yang cenderung sangat ‘longgar’
perlakuannya terhadap peserta didik ini dapat meraih peringkat lebih tinggi
dalam PISA daripada Korea Selatan yang beban belajar bagi masing-masing peserta
didiknya adalah 50 jam per minggu, sangat padat bila dibandingkan dengan
Finlandia yang hanya 30 jam per minggu.Terlebih lagi, sistem pendidikan
Finlandia tidaklah mengenal Ujian Nasional (UN) sebagaimana Indonesia yang
telahmenjadikannya sebagai ritual tahunan. Finlandia juga tidak mengenal adanya
sistem rangking, maupun peserta didik yang tinggal kelas, apalagi tidak lulus
sekolah, tidak seperti yang terjadi di Indonesia. Jadi Finlandia tidak
mengkotak-kotakkan masyarakat pendidikannya.
Pendidikan dan pembelajaran berbagai bidang ilmu di sekolah saat ini
terkesan gersang (kering) dari keindahan hidup, dijejali dengan hafalan teori
dan sangat minim praktek, terlalu abstrak, dan kurang menyentuh value dan dimensi kemanusiaan dari
bidang ilmu yang diajarkan. Seyogianya pendidikan dan pembelajaran sebagai
bagian integral dari kebudayaan manusia dan oleh karenanya mempunyai
karakteristik yang bersifat humanistis (manusiawi). Pendidikan dan pembelajaran
yang demokrasi dan humanistis adalah praktek pendidikan dan pembelajaran yang
membawa peserta didik nyaman dalam perbedaan (berbeda dalam kecerdasan/potensi,
budaya, sukudan agama), kebebasan berpikir dan berkreasi, berkesempatan
mengonstruksi estetika keilmuan, suasana akademik yang kolaboratif dan adaptif
terhadap perubahan dengan orientasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang
memiliki character/soft skills, life skills, dan survive dalam
hidup.
Dalam tulisan
ini akan dipaparkan suatu ide yang masih terbatas terkait pentingnya
Pembahasan
Mengimplementasikan
pendidikan yang demokratis dan humanistis di Indonesia dengan berbagai
pertimbangan fenomena yang terjadi ditengah-tengah bangsa yang besar ini, dan
kenyataannya telah digariskan dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pada pasal 4 ayat 1
sampai 6.
Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Di Indonesia Menuntut Pendidikan yang
Demokratis dan Humanistis
Prinsip yang
dianut dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia tertuang dalam UU
Sisdiknas Tahun 2003, pasal 4 ayat 1 sampai 6.Pada ayat 1 dinyatakan pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa. Namun pasal-pasal selanjutnya dalam UU Sisdiknas sendiri
ternyata memperlakukan peserta didik dengan cara yang sangat diskriminatif,
sebagaimana pasal 5 ayat 2 hingga 4, yang menyatakan bahwa hanya warga negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, atau
tinggal di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil,
serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus, yang mekanismenya tidak dipaparkan dengan jelas
bahkan tidak tersedia peraturan pemerintah untuk implementasinya.
Landasan hukum inilah yang akhirnya menjadi dasar bagi sekolah-sekolah
untuk mengadakan kelas unggulan yang berisi peserta didik yang dianggap oleh
sekolah memiliki tingkat intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan
peserta didik lainnya. Peserta didik di kelas unggulan biasanya
mendapatkan fasilitas lebih, berupa tambahan mata pelajaran intensif dan juga
tenaga pendidik dengan kapasitas lebih.Perlakuan khusus yang dapat
diterjemahkan sebagai pendidikan khusus ini menimbulkan kecemburuan sosial di
antara peserta didik karena persaingan tidak sehat yang diciptakan oleh
sekolah. Terlebih lagi kemunculan label sekolah favorit dan sekolah tidak
favorit, label SSN dan SBI, yang telah mengkotak-kotakkan level sekolah
sehingga juga memunculkan persaingan yang tidak sehat di antara masing-masing
sekolah yang tentu saja akan berimplikasi negatif pada peserta didik.
Sebagaimana tergambar dalam prinsip-prinsip penyelenggaraan sistem
pendidikan UU Sisdiknas, sebenarnya negara ini memiliki niat menerapkan prinsip
pendidikan yang demokratis dan humanistis, tetapi masih sebatas
retorika, belum diwujudkan dalampraktek pendidikan dan pembelajaran di
sekolah. Hal
ini dapat dicermati dalam proses pembelajaran, guru lebih cenderung menganut
paham behavioristik (dehumanis) dengan prinsip teori tabularasa dari John
Locke. John Locke beranggapan bahwa pendidikan adalah penentu masa depan
seseorang sebab manusia dilahirkan bagaikan kertas putih yang masih kosong.
Tulisan di atas kertas putih yang kosong itulah yang menentukan baik buruknya
manusia.Hal ini bertentangan prinsip pembelajaran yang humanis, yang menekankan
bahwa sejak lahir manusia sudah membawa potensi dan bakat yang menentukan masa
depannya sedangkan pendidikan dan lingkungan hidup/belajar peserta didik adalah
pemicu potensi dan bakat yang dimiliki peserta didik menjadi lebih matang.
Pendidikan yang Demokratis dan Humanis
Prinsip dasar pendidikan dan pembelajaran yang demokratis adalah memberi
kepercayaan dan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk
mengembangkanpotensinya, karakternya, pengetahuannya, keterampilannya, dan
kreativitasnya untuk mencapai cita-cita bersama bangsa ini. Pendidikan yang
demokratis dalam pengertian luas hendaklah mampu memberdayakan semua kelompok
(kelompok budaya, agama, organisasi, anak cacat, kelompok suku terasing,
kelompok profesi, masyarakat desa tertinggal dan terpencil) tanpa batas-batas
yang spesifik.
Berdasarkan
kelompok sasaran tersebut, dapat digambarkan bagaimana variasi pendidikan yang
perlu diupayakan.Semua jenis kelompok ini harus dapat diberdayakan dan tidak
ada yang disisihkan kalau ingin diciptakan pendidikan yang benar-benar
demokratis. Dinamika program pendidikan tidak lain adalah: (1) pendidikan
tersebut bersumber pada dan dibangun atas landasan pola kebenaran setempat
(lokal, regional, dan nasional), (2) visi dan misi pendidikan disesuaikan
dengan kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat yang otonom.
Pihak
permerintah, masyarakat, danorganisasi bisa menyiapkan lembaga pendidikan yang
memberi kesempatan pada setiap orang bebas memilih secara adil sesuai
keinginannya untuk mengembangkan jati dirinya.Kebebasan yang dimaksud adalah
kebebasan yang lebih luas, yaitu tercapainya cita-cita bersama, sehingga
memungkinkan anggotanya untuk lebih berkembang, lebih makmur, dan lebih
berbahagia. Jadi dasar demokratisasi tidak lain adalah kepercayaan, pengakuan
atas kebebasan manusia dan kesempatan yang diberikan kepadanya untuk berkembang
dan keharusan untuk bertanggungjawab bersama dan demi kepentingan bersama
(Tilaar, 2002:351).
agar manusia
menjadi lebih manusiawi dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Mardiatmaja
sebagaimana dikutip oleh T. Sarkim (1998), sebagai berikut:
a.
Dalam proses pendidikan, pengembangan hati dan
pikiran harus berjalan secara bersama-sama;
b.
Peserta didik harus diberi kesempatan untuk
berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi dan universal;
c.
Dalam
pendidikan harus ada
kerjasama erat
antara peserta didik dan pendidik, juga antara teori dan praktek.
Pembelajaran
yang sejalan dengan ketiga prinsip di atas lebih cenderung menganut paham
konstruktivisme (khususnya aliran konstruktivis sosial dari Vygotsky).Intinya,
pendidikan humanis dapat dipahami sebagai model pendidikan yang memuliakan
manusia atas potensi-potensi kemanusiaan yang sudah ada dalam dirinya.Pada
model pendidikan ini, manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, sehingga
pendidikan harus berpusat pada peserta didik dan bukan pada pendidik. Selama
tujuan pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik terhadap realitas yang
ada di sekitarnya dan menyadarkan mereka akan proses humanisasi yang terjadi
atasnya, maka peserta didik tidak lagi dijejali dengan hapalan teori melainkan
dengan membawa mereka pada realitas itu sendiri, melalui integrasi antara teori
dengan praktek.
Salah satu
jalan untuk dapat menciptakan pendidikan yang demokratis dan humanis adalah
pendidikan kewargaan. Pendidikan kewargaan yang paling penting adalah yang
menyangkut muatan proses-proses demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
partisipasi aktif, dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani
Pendidikan
humanis sebagai pemikiran pendidikan telah berkembang dengan mengadopsi
prinsip-prinsip pendidikan dari dua aliran, yaitu progresivisme dan
eksistensialisme.Tetapi pendidikan humanis juga memperoleh dukungan dari para
ahli psikologi humanistik dan ahli pendidikan kritis.Prinsip-prinsip pendidik
humanis yang diambil dari prinsip progresivisme adalah prinsip pendidikan yang
berpusat pada anak (child centered),
peran guru yang tidak otoriter, fokus pada keterlibatan dan aktivitas peserta
didik, dan aspek pendidikan yang demokratis dan kooperatif.Prinsip-prinsip
pendidikan ini adalah sebagai reaksi terhadap pendidikan tradisional yang
menekankan pada metode pengajaran formal yang kurang memberi kebebasan pada
peserta didik sehingga peserta didik menjadi tidak kreatif yang sekadar
mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh orang dewasa.
Prinsip-prinsip pendidikan yang humanis adalah (1) guru yang otoriter, (2)
metode yang menekankan pada buku teks, (3) belajar pasif, (4) pendidikan membatasi pada
ruang kelas sehingga terasing dari realita kehidupan sosial, (5) penggunaan
hukuman fisik atau rasa takut sebagai bentuk pembangun disiplin. Jadi motivasi
yang ditanamkan adalah motivasi ekternal, bukan membangun motivasi internal
dalam diri peserta didik.
Dalam ide
sekolah demokratis dikemukakan kondisi atau persyaratan yang dikembangkan oleh
James A. Beane dan Michael W. Apple sebagai berikut (Rosyada, 2004:16):
a.
Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga
semua orang
bisa menerima
informasi seoptimal mungkin.
b.
Memberikan kepercayaan kepada individu-individu
dan kelompok dengan kapasitas yangmereka miliki untuk menyelesaikan berbagai
persoalan sekolah.
c.
Menyampiakan kritik sebagai hasil analisis
dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan
berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
d.
Memperlihatkan kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
e.
Mengembangkan kondisi demokratis dalam
kehidupan manusia yang dimulai dari anak-anak sekolah dan praktek desain
pembelajaran.
f.
Kepedulian terhadap martabat, harga diri,
hak-hak individu, dan hak-hak minoritas.
g.
Secara institusional sekolah sebagai wadah
penerapan dan mempromosikan serta mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
Sejalan dengan
prinsip-prinsip pendidikan yang telah disebutkan di atas maka para pendidik
humanis memilikipandangan tentang pendidikan sebagai berikut:
1). Tujuan pendidikan dan proses pendidikan berasal
dari anak (peserta didik). Oleh karenanya, kurikulum dan tujuan pendidikan
menyesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan prakarsa anak.
2). Peserta didik adalah aktif bukan pasif.
Anak memiliki keinginan belajar dan akan melakukan aktivitas belajar apabila
mereka tidak difrustasikan belajarnya oleh orang dewasa atau penguasa yang
memaksakan keinginannya.
3). Peran guru
adalah sebagai fasilitator, motivator, penasihat, pembimbing, mitra belajar
bagi peserta didik, bukan penguasa kelas. Tugas guru ialah membelajarkan
peserta didik sehingga peserta didik memiliki kemandirian dalam belajar. Guru
berperan sebagai pembimbing dan melakukan kegiatan menggali, mengonstruksi dan
menemukan pengetahuan bersama peserta didik. Tidak boleh ada pengajaran yang
bersifat otoriter, di mana gurusebagai penguasa dan murid menyesuaikan.
4). Sekolah
sebagai bentuk kecil dari masyarakat luas. Pendidikan dan pembelajaran
seharusnya fleksibel, dalam arti dapat dilakukan di dalam dan luar kelas, di perpustakaan,
di laboratorium, bahkan di tempat sumber masalah yang akan dipecahkan.
Pendidikan yang bermakna adalah pendidikán yang berguna bagi peserta didik dan
dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat.
5). Aktivitas
belajar harus berfokus pada pemecahan masalah autentik, bukan sekadar
memindahkan ilmu pengetahuan. Pemecahan masalah adalah bagian dari kegiatan
kehidupan.Oleh karenanya, pendidikan harus membangun kemajuan peserta didik
untuk memecahkan masalah.Kegiatan pendidikan bukan sebagai pemberian informasi
dari guru kepada peserta didik, yang terbatas sebagai aktivitas mengumpulkan
dan mengingat kembali pengetahuan statis.
6). Iklim sekolah harus demokratis dan
kooperatif karena kehidupan di masyarakat selalu hidup bersama orang lain, maka
setiap orang harus mampu berkolaborasi dengan orang lain.
Dalam realita
pendidikan tradisional sering peserta didik dilarang untuk berbicara, berpindah
tempat, atau kerja sama dengan peserta didik lain. Iklim demokratis dalam kelas
dibutuhkan agar peserta didik dapat hidup secara demokratis di
masyarakat.Prinsip-prinsip pendidikan yang humanis diambil dari pandangan
progresivisme, yang lebih menekankan bahwa individu sebagai satuan sosial
(anggota masyarakat).Sedangkan prinsip pendidikan humanis yang diambil dari
pandangan eksistensialisme adalah menekankan pada keunikan peserta didik
sebagai individu. Setiap peserta didik dipandang sebagai individu yang memiliki
keunikan yang berbeda dengan peserta didik lain. Perbedaan keunikan individu
peserta didik dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran harus dapat tampak dan
dihargai oleh pendidik atau guru.
Pandanganeksistensialis
yang diambil oleh pendidik humanis adalah adanya kemerdekaan atau kebebasan
dalam diri individu untuk memilih apa yang dianggap benar bagi dirinya untuk
dapat membangun dirinya menjadi (to
become) seperti apa yang diinginkan. Kelahiran sebagai wujud keberadaan
(eksistensi) individu di dunia adalah titik awal bagi individu untuk
mengembangkan esensi dirinya. Esensi diri manusia dibangun melalui proses
kehidupan di mana individu memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus
bertanggung jawab terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk
menjadi apa adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya
terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru adalah
sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan. Nilai-nilai keagamaan berada
dalam diri individu yang memperoleh pemaknaan oleh individu masing-masing,
tidak ada otoritas di luar diri individu yang dapat memberikan makna. Apabila
individu melakukan perubahan makna akan pengetahuan, nilai-nilai,
PENUTUP
Indonesia telah
menggariskan prinsip penyelenggaraan pendidikannya yang demokratis dan
humanistis, namun masih sekedar selogan (bersifat retorik) dalam UU
Sisdiknas.Prinsip pendidikan dan pembelajaran yang demokratis dan humanis belum
tampak diwujudkan praktek pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di
sekolah.Pengelolaan pendidikan kita masih membeda-bedakan kelompok masyarakat,
organisasi, budaya, agama, dan pembelajarannya masih menganut prinsip
behavioristik yang sangat dehumanis dalam sistem
pendidikannya. Namun bila penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia mau
lebih banyak belajar dari sistem pendidikan negara-negara yang telah menerapkan
pendidikan dan pembelajaran yang demokratis dan humanis, bukannya tidak mungkin
lambat laun Indonesia yang kaya dengan potensi SDM, budaya dan SDA ini dapat
segera bangkit dari krisis yang sedang melanda negeri ini.
Untuk mewujudkan sistem pendidikan yang demokratis dan humanistis,
pemerintah dan sekolah mengharuskan tenaga edukatif hijrah dari paradigma guru
mengajar (behavioristik) menuju paradigma siswa belajar
REFERENSI
Daniel Mohammad Rosyi. 2008.Keaduhan
Nasional. Jakarta: Rosma Press. Indonesia.
Delors, J. 1996. Four Pillars ofLearning.Cirebon:
Ilhami Press. Indonesia.
Gardner, H.
2004. Changing Minds.Boston, MA:
Harvard Business
School Press.
Gardner, H.
2006. Five Minds for theFuture.
Boston, MA: HarvardBusiness School Press.
Hogan-Garcia,
M. 2003.The FourSkills of Cultural
Diversity Competence: a Process for
Rosyada, Dede.
2004. ParadigmaPenddikan Demokratis.
Jakarta: Prenada Media.
0 komentar:
Posting Komentar