DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI...............................................................................................
1
BAB I :
PENDAHULUAN.......................................................................... 2
BAB II
: PEMBASAHAN............................................................................ 3
A. AR RISYWAH (menyuap)....................................................................... 4
B. AL GHOSHOB (menggunakan bukan haknya)..................................... 9
C.SU’UDZON (berburuk sangka)............................................................. 11
BAB III
: PENUTUP................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
Syukur
Alhamdulillah kita ucapkan pada Allah swt, yang maha pengasih lagi maha
penyayang yang telah memberikan kita kekuatan dan luang waktu sehingga kita
dapat menyelesaikan dan menguraikan beberapa pembahasan tentang “Perilaku
tercela” yang akan kita bahas lebih ringkas dalam makalah kami ini,Shalawat dan
salam kita persembahkan pada junjungan dan tauladan kita yang telah mengarahkan
kita dalam setiap aktivitas yang kita lakukan dalam keseharian kita termasuk
dalam berperilaku, Rasulullah begitu lengkap menjelaskan tentang bagaimana
seharusnya kita berperilaku dalam hidup ini agar kita menjadi manusia yang baik
di hadapan Allah dan baik di hadapan Makhluq-nya.
Dalam
makalah ini kami akan menjelaskan
sedikit tentang’Perilaku Tercela” karna kami anggap begitu perlu dan pentingnya
kita mempelajari“Perilaku Tercela”, karna Perilaku ini sering kita jumpai dalam
masyarakat atau bahkan kita sendiri sering melakukan perbuatan tercela yang
berkepanjangan tanpa adanya rasa bersalah pada Allah SWT na’udzu billah min syarri dzalik.oleh karna itu alangkah baiknya
kita mengkaji perilaku itu dengan harapan kita dapat terbebas dari melakukan
perbuatan serta perilaku yang tercela itu.
Sebenarnya
banyak sekali perilaku tercela yang kita jumpai dalam kehidupan ini,namun kita
memerlukan banyak waktu dan referensi yang banyak untuk mengkaji hal-hal yang
berkaitan dengan perilaku tercela. oleh karna itu kami akan mengkaji sebagian
dari perilaku tercela itu karna mengingat ilmu yang sangat minim bagi penulis
untuk membahas detail tentang perilaku tercela yang begitu banyak itu namun
penulis memilih peberapa tema penting dari bagian perilaku tercela tersebut
yaitu ;
1. AR RISYWAH (menyuap)
2. AL
GHOSHOB (menggunakan bukan haknya)
3. SU’UDZON (berburuk sangka)
BAB II
PEMBAHASAN
Perilaku tercelah adalah suatu
perbuatan yang hukumnya haram bagi yang melakukan perbuatan itu (perbuatan
tercela) karna dapat merusak hubunganya dengan Rabbinya maupun sesama manusia.
Perbuatan ini semestinya kita ummat nabi Muhammad SAW, tidak melakukanya karna
perlaku ini tidak pernah di contohkan Rasulullah sebagai nabi kita dan sekalian
sebagai tauladan dalam hidup kita dan semestinya kita sebagai ummatnya dapat
mengamalkan apa yang telah di ajarkan pada kita karna memang apapun yang di
ajarkan oleh Rasulullah tidak pernah menyalahi kodrat manusia sebagai mahluk
sosial dalam dunia ini yang selalu berintraksi dan saling membutuhkan satu sama
lainya.
Sungguh telah ada pada diri
Rasulullah suri tauladan yang baik’[1][1] bagi kita
sekalian manusia seharusnya dapat merenungkan dan mengamalkan Ayat Allah
ini,namun banyak sekali kita menyalahi apa yang di contohkan Rasulullah pada
kita,mungkin karna nafsu dan godaan dunia yang begitu kuat sehingga kita
terlena dan terlupa akan tujuan hidup ini hanya untuk menimba dan mengumpulkan
amal kebaikan sebanyak mungkin untuk menjadi sebuah penolong kita kelak saat
amal itu di timbang untuk menentukan dimana tempat kita yang layak di nerkakah
atau di syurga yang penuh dengan kenikmatan yang abadi.
1.
AR RISYWAH
(menyuap)
A. Pengertian
Pelaksanaan suap menyuap dapat
dibilang sudah menjadi budaya dikalangan masyarakat, untuk setiap urusan apapun
rasanya aneh apabila tidak terdapat unsur suap menyuap. Dari urusan melamar
pekerjaan hingga pemenangan suatu kasus hukum. Adapun suap menyuap dalam islam
disebut dengan Ar-Risywah, dan ibnu atsir dalam kitab An-Nihayah fi Gharibil
hadis wal atsar mendifinisikan Ar-Risyah sebagai suatu usaha untuk memenuhi
kepentingan dengan suatu bujukan.
Risywah (suap) secara terminologis
berarti suatu harta yang diperoleh sebab terselesaikannya suatu kepentingan
manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kemudharatan) yang
semestinya harus diselesaikan tanpa adanya suatu imbalan. Meskipun terdapat
kemiripan yang mendasar antara suap menyuap dengan upah atau gaji (Ujrah). Upah
atau gaji diperoleh sebagai imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang
semestinya) tidak harus dilakukan, misalnya seseorang yang memiliki mobil tidak
berkewajiban untuk mengantarkan orang lain ke tempat tertentu, dan ketika ia
diminta oleh orang lain untuk mengantarkan orang lain kesuatu tempat, maka
imbalan yang diterima bisa disebut dengan upah. Berbeda halnya dengan suap,
suap ialah suatu imbalan atas terlaksananya pekerjaan tetentu (yang semestinya)
wajib dilaksanakan tanpa adanya suatu imbalan apapun dari orang yang memenuhi
kepentingannya. Misalnya, seorang pegawai disebuah instansi pemerintahan yang
bertugas melayani pembuatan KTP, pekerjaan tersebut memang telah menjadi
kewajibannya, dan ia sudah mendapatkan upah dari pemerintah dari pekerjaan
tersebut. Akan tetapi ia masih meminta imbalan kepada orang yang ingin
mendapatkan KTP, maka hal tersebut dapat disebut sebagai suap atau Risywah.
Bertolak dari pengertian dan contoh
tersebut, maka fee yang diterima oleh pejabat di departemen perhubungan dari
pengusaha yang memenangkan tender dapat dikatagorikan sebagai suap. Pasalnya
hal tersebut menyelenggarakan tender berbagai proyek merupakan tugas yang harus
dikerjakan. Pada pejabat itupun sudah mendapatkan gaji atas pekerjaan yang
dilakukannya. Apapun istilah dan nama yang diberikan, uang yang diterima para
pejabat dari pengusaha itu ialah suap.
Apabila dicermati, ternyata beberapa
hadis nabi bukan hanya mengharamkan seseorang yang melaksanakan suap menyuap,
akan tetapi juga diharamkan melakukan hal yang bisa membuat suap menyuap
itusendiri berjalan. Maka yang diharamkan bukan hanya satu pekerjaan, yaitu
memakan harta suap, melainkan tiga pekerjaan sekaligus, yaitu penerimaan suap,
pemberian suap dan mediator suap menyuap. Sebab tidak akan mungkin
terlaksananya suap menyuap apabila tidak ada yang menyuap. Maka orang yang
melakukan suap menyuappun termasuk mendapat laknat dari allah swt dan nabi
muhammad saw, sebab karena perkerjaan dan inisiatif dialah maka ada orang
melakukan suap menyuap. Dan biasanya dalam kasus ini terdapat mediator atau
perantara yang bisa memuluskan jalan. Sebab bisa jadi pihak yang menyuap tidak
mau menampilkan diri, maka ia akan menggunakan pihak lain sebagai mediator.
Atau sebaliknya, pihak yang menerima suap tidak akan mau bertemu secara
langsung dengan sang penyuap, maka disini peran seorang mediator sangatlah
penting. Dan sebagai mediator hal ini sering dianggap wajar jika mendapat suatu
komisi tertentu dai hasil jasanya itu.
Maka ketiga pihak tersebut oleh
Rasulullah saw dilaknat. Dan tanpa adanya peran aktif dari semua pihak, suap
menyuap tidak akan terealisasikan dengan lancar. Hal ini tidak terdapat
pengecualian, meskipun ada beberapa ulama yang bemberikan pengecualian dengan
berpendapat jika kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali
dengan disyaratkan harus membayar jumlah uang tertentu, maka yang meminta suap
itu berdosa karena menghalangi seseorang mendapatkan haknya, sedangkan yang
membayar untuk mendapatkan haknya tidak berdosa, karena ia melakukan untuk
mendapatkan apa yang jelas-jelas menjadi haknya secara khusus. Mereka mensifati
membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman
seseorang. Akan tetapi orang yang menerima suap tetap berdosa dengan beralasan
demikian, hal ini dikutip dari beberapa pendapat diatas. Pendapat tersebut
dapat diterima sebab lafadz pelanggaran suap dilaknat oleh allah swt dan nabi
muhammad saw, dan bersifat umum. Tidak terdapat dalil khusus yang
menghkususkannya, karena bersifat umum. Sebagaimana ditetapkan dalam kaidah
lafadz umum tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Dengan demikian suap menyuap tetap haram dalam keadaan apapun
juga.
Istilah suap menyuap akhir-akhir ini
sangat ngetren dikalangan masyarakat. Namun bukan berkaitan dengan nasi yang
dimasukkan dalam mulut, tapi suap-menyuap yang menyebabkan sejumlah orang yang
harus berurusan dengan pihak yang berwajib. Bahkan sejumlah orang ditengarai
masuk dalam antrean untuk diperiksa oleh pihak berwajib yang disebabkan oleh
suap-menyuap.
Dalam kamus bahasa indonesia suap
ialah kata yang ditenggari oleh perbincangan atau uang sogok. Akan tetapi pada
umumnya disebut dengan uang pelicin. Uang pelicin pada umumnya digunakan untuk
memuluskan jalan dari berbagai hal, agar segala sesuatu yang dianggap hambatan
dapat teratasi sesuai dengan harapan sang penyuap. Tidak ada suap atau pelicin
yang disandingkan dengan sesuatu yang baik, selalu ada sesuatu yang tidak beres
didalamnya. Seseorang melakukan suap karena memang ia tidak beres dan harus
berhadapan dengan hukum, ia juga tidak mungkin menyuap jika tidak ada keinginan
mendapatkan imbalan dari sogokan yang diberikannya.
Setiap profesi memiliki suatu resiko
untuk terjebak dalam dunia suap-menyuap, sebab batas antara kekuatan iman dan
terjerumus kedalam suatu godaan hanyalah setipis kulit bawang. Manusia bukan
malaikat yang tidak membutuhkan materi, manusia ialah makhluk penggoda dan
gampang tuk tergoda. Terkadang tidak menyadari akibat ketergodaannya yang
menimbulkan kerugian yang tidak terkira bagi dirinya dan sesamanya.
B.
Dalil-Dali Al-Qur’an dan hadist
Hadis Di kitab Nailu al-awthan, No : 3887 dan 3888
2887-
وعن عبدالله بن عمرو قال : (( قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : لعنة الله
على الشي والمرتشي )) رواه الخمسة إلا النسائي وصححه الترمذى.
2888 - عن
ثوبان قال : ( لعن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم الراشي والمرتشي والرائش )
يعني الذي يمشي بينهما رواه أحمد.
2887 – Dari abdullah bin amar berkata :
(( Rasulullah saw bersabda : sesungguhnya Allah melaknat orang yang menyogok
dan disogok )) HR. Kelimanya keculi An-Nasa’i dan At-Tirmidzi
mensahihkannya.
2888 – Dari tsauban berkata : (( Rasulullah saw
melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan )) yakni orang
yang memberikan jalan atas keduanya, HR. Ahmad.
وعن عمر وبن مرة قال سمعت رسول الله ص م يقولما من امام اووال يغلق بابه دون
ذويالحاجة ولخلة والمسكنة الا اغلق الله ابواب اسماء دون خلته وحاجته ومسكنته
(رواه احمد و الترمذي )
Artinya : “dan dari ‘ Amr bin Murrah,ai
berkata : “aku mendengar Rasulullah saw bersabda, tidak seorang imam
punatau penguasa yang menutup pintunya terhadap orang-orang yang
berkepentingan, orang fakir dan miskin, melaikan allah akan menutup pintu-pintu
(rizki) dari langit terhadap kefakirannya,kebutuhannya dan kemiskinanya.(H.R.
Akhmad dan Tirmidzi)
وعن ثوبان قال : لعن رسول الله صل الله عليه واله وسلم الراشى والمر
تشى.والراش.يعن الدى يمس بينهما. رواه احمد
)
“ Rasulullah mengutuk orang yang memberi
uang sogok dan yang menerimanya dan mereka yang menjadi perantara “.(H.R. Ahmad
; Al-Muntaqa II: 935)
Kata khallah itu sendiri
seperti tersebut dalam kitab nihayah artinya ialah kebutuhan dan kemiskinan.
Tetapi kata ini di ma’thufkan (dihubungkan) dengan kata sebelumnya yaitu
“hajah” yang artinya lebih khusus. Dalam istilah nahwu disebut “athful ‘am
‘alal khas”. Hadits ini menunjukan ketidak halalnya seorang kepala (penguasa)
menutup pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan, walaupun itu orang
yang kafir dan miskin.[1]
Islam sebagai agama yang sempurna
sangat mengharamkan suap menyuap, bahkan rasulullah saw melaknat terhadap para
pelakunya hingga penghung antara suap menyuap sebagaimana hadis nabi di atas
tadi. Jadi ar-Risywah ialah pemberian apa saja (berupa uang atau lainnya)
terhadap penguasa, hakin, dan lain sebagainya. Dan islam sangat mengharamkan
hal tersebut dengan cara bathil, sehingga sebuah ketentuan berubah, sehingga
menyakiti banyak orang dan wajarlah apabila rasulullah melaknat terhadap para
pelakunya. Sebagaimana hadis yang tercantum diatas.
Rasulullah saw melaknat para pelaku
dan penghubung diantara keduanya, dari beberapa dalil hadis yang tercantum di
atas. Dan setelah mengetahui beberapa dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang
menegaskan mengenai keharaman praktik suap menyuap, maka hal tersebut dapat
dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang yang terlibat diantara keduanya
akan mendapatkan kecelakaan yang akan diberikan terhadapnya.
Para ulama memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap permasalahan ini, diantaranya ialah Ibnu Qudamah dalam kitabnya
al-Mughniy, beliau berkata. Yaitu “adapun suap menyuap dalam masalah hukum dan
pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram”.
Imam asy-Syukani dalam kitab nailul
authar berkata bahwa “ibnu ruslan berkata dalam syarhus sunan, termasuk
kemutlawan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil
shadaqh tersebut menerangkan keharamannya sesuai ijma”. Ash-Shan’aniy dalam
Subulussalam berpendapat “dan suap menyuap hal tersebut haram sesuai ijma’,
baik bagi seorang Qadhi / hakim”.
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
(al-Baqarah, 188)
C. Pendapat
Ulama
Menurut Ibnu
Ruslan : masuk ke dalam larangan memberi risywah ( uang sogok), larangan
member risywah kepada hakim, kepada petugas zakat. Perbuatan itu haram dengan
ijma’ ulama.
Abu Wa-il
Syaqiq ibn Salamah, salah seorang ulama tabi’in berpendapat bahwa apabila
seorang hakim menerima hadiah, beratilah dia menerima barang yang haram. Dan
jika dia menerima risywah, sampailah dia kederajat kufur.
Asy-Syaukany
berkata : menurut zhahir hadits, segala hadiah yang diberikan kepada hakim dan
para pejabat yang mempunyai kewenangan adalah risywah, karena hadiah-hadiah itu
mengandung maksud yang tertentu, walaupun yang menghadiahkan itu orang yang
telah biasa member hadiah, sebelum orang tersebut menjadi hakim atau pejabat.[2]
Asy-Syafi’y
dan segolongan ulama berkata : janganlah hakim mengadakan pengawal untuk
menjaga pintu kamar kerjanya. Namun sebagian ulama membolehkannya, untuk
menjaga keselamatan hakim dan menentramkan suasana diluar persidangan dan agar
hakim dapat mengatur pekerjaannya. Rasulullah saw, sendiri kadang-kadang tidak
menerima sahabat yang ingin menemuinya.
Sebagian
ulama berkata : tugas bawwab atau hajib (pengawal pintu yang menentukan siapa
boleh masuk dan siapa yang tidak boleh), ialah orang yang memberitaukan kepada
hakim-hakim tentang orang-orang yang akan menemuinya, lebih-lebih kalau yang
datang itu orang-orang terkemuka untuk keperluan perkara bukan sekedar untuk
mengunjungi hakim.
Al-Hafidh
berkata : hendaklah hakim mendahulukan yang lebih dahulu datang, kemudian yang
sesudahnya dan begitulah seterusnya dan hendaklah didahulukan orang musafir
atas orang mukmin, khususnya jika musyafir itu perlu segera berangkat, karna
berada dalam suatu rombongan yang akan meneruskan perjalanan. Dan hendaklah
hadjib itu seorang yang kepercayaan, arif lgi baik budi pekertinya.
hadis-hadis
ini dengan tegas mengharamkan hakim menerima uang dan mengadakan
penjaga-penjaga pintu yang menghalang-halangi orang-orang yang punya
kepentingan masuk ke kamar untuk menyampaikan keluhannya.
2. AL GHOSHOB (menggunakan bukan haknya)
A.Pengertian
Secara harfiah, ghasab adalah mengambil sesuatu
secara paksa dengan terang-terangan. Sedangkan secara istilah, ulama
bermacam-macam mendefinisikannya, Mazhab Hanafi mendefinisikan gasab sebagai
mengambil harta orang lain yang halal tanpa izin sehingga barang itu berpindah
tangan. Mazhab Maliki mendefinisikan gasab sebagai mengambil harta orang lain
secara paksa dan sengaja, tetapi tidak dalam arti merampok. Sementara mazhab
Syafii dan Hanbali memaknai gasab sebagai penguasaan terhadap harta orang lain
secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
B. Definisi menurut para ulama’
1. Mazhab Hanafi: mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
2. Ulama Mazhab Maliki: mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok)
3. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali: penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Maka dari itu menanami tanah ghasab termasuk haram karena mengambil manfaat dari tanah ghasab dan menghasilkan harta.
Dari definisi tersebut diatas yang dikemukakan oleh para ulama jelas terlihat bahwa:
1. Bagi Mazhab Hanafi (selain Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Zufar bin Hudail), ghasab harus bersifat pemindahan hak seseorang menjadi milik orang yang menggasab.
2. Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, tidak dinamakan ghasab apabila sifatnya tidak pemindahan hak milik.
3. Jumhur Ulama: menguasai milik orang lain saja sudah termasuk ghasab, apalagi bersifat pemindahan hak milik.
C. Dalil-Dalil
Al-Qur’an dan Hadist
1. Surat An Nisa ayat
29
يَأيهَا الذِينَ آمَنُوا لاَ تَأكُلُوا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلاَّ أنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُم وَلاَ تَقْتُلوُا أنْفُسَكُم إنّ الله كَانَ بِكُم رَحِيمًا
يَأيهَا الذِينَ آمَنُوا لاَ تَأكُلُوا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلاَّ أنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُم وَلاَ تَقْتُلوُا أنْفُسَكُم إنّ الله كَانَ بِكُم رَحِيمًا
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Surat Al Baqarah 188
2. Surat Al Baqarah 188
وَ لاَ تَأكُلوُا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَ تُدْلُوابِهَا إلىَ اْلحُكّامِ لِتَأكُلوُا فَرِيقًا مِنْ أمْوَالِ النَّاسِ بِا لإثمِ وَ أنْتُم تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
3. Sabda Rasulullah
“Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)
“Harta seorang muslim
haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya
(HR.Daruquthni dari Anas bin Malik).
D. Hukum Ghosob
Islam memberlakukan tiga macam hukuman. Pertama, dia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya milik orang lain. Kedua, jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikan. Ketiga, jika barang telah hilang/rusak karena dimanfaatkan, dia dikenakan denda.
Berapa besarnya denda? Dalam hal ini ada beberapa pendapat ualama.Ulama mazhab hanafi dan Maliki berpendapat denda dikenakan sesuai dengan jenis barang yang diambil. Bila tidak ada yang sama, dikenakan denda sesuai harga tertinggi.
Menurut ulama mzhab Syafi'i,
denda dikenakan sesuai harga tertinggi pada periode sejak pengambilan sampai
penentuan denda. sementara ulama mzhab Hambali berpendapat denda sesuai harga
patokan ketika benda itu tidak ada lagi di pasaran
3. SU’UDZON (berburuk sangka)
A.Pengertian
Su'udzon berasal dari kata
"zhan" yang artinya purbasangka,
biasanya diarahkan kepada sangka yang buruk atau istilahnya Su'udzon lawan dari husnudzon artinya berbaik sangka. su'udzon bisa diumpamakan pada saat
ada seseorang yang menyangka atau berfikir yang buruk kepada orang lain, hal
ini dapat merusak persaudaraan dan tali
silaturahmi, karena dapat menimbulkan yang namanya fitnah, dan fitnah tersebut dapat merugikan orang lain sehingga hal ini sangat
ditentang dalam Islam.
Sebagai
umat islam kita harus memiliki sifat
husnudzon atau berbaik sangka kepada orang lain, hal ini dapat
menimbulkan rasa saling menghormati dan
menghargai antar sesama makhluk Allah (manusia). Kita pun diwajibkan
untuk saling bersaudara mengapa? karena bersaudara akan menambah sikap saling
tolong menolong kita, sesama manusia kita tentunya saling membutuhkan,
bersaudara merupakan jalan untuk mengurangi permusuhan, bersaudara itu bisa
bermacam-macam bentuknya, dan berikut ini adalah hal-hal yang perlu dijaga untuk mencapai persaudaraan :
1)
Jangan berburuk sangka (su'udzon),
menyangka-nyangka tanpa bukti
dan hanya kira-kira saja tanpa diselidiki, sebab dengan berprasangka buruk dapat mengakibatkan
permusuhan dan keretakan persaudaraan,
2)
Suka mendengar-dengar rahasia kawan
atau orang lain, jauhilah
rasa untuk ingin mengetahui rahasia orang lain yang tidak baik, hal ini pun
dapat menimbulkan fitnah.
3)
Suka mengintai-intai atau mencari-cari
dan membicarakan aib orang lain, dicari-cari kesalahannya agar
memperoleh celaka, sebab tak suka orang lain senang.
4)
Suka menambah-nambah harga dalam
jual-beli untuk menipu, atau menawar lebih tinggi dari orang lain sedang
ia sendiri tak jadi beli.
5)
Saling mendengki, iri hati, tak
suka orang lain memperoleh kenikmatan, atau nikmat orang lain agar hilang
sekali, biar pun ia sedang tak mendapat nikmat yang besar.
6)
Bermarah-marah, hanya karena
sebab kecil yang tak disukai, yang kalau tidak dapat dilerai timbullah
permusuhan.
7)
saling bermusuhan, tak mau
menegur karena adanya suatu kesalahan yang sepele saja.
Tujuh macam hal
inilah yang perlu kita jaga agar tidak menghingap pada diri kita, atau dalam
kata lain kita harus menjauhi sikap-sikap seperti diatas agar terwujudnya persaudaraan yang kental
dan indah. Menjauhi sikap Su'udzon
sesungguhnya sangat penting bagi kita.
B. Dalil-Dalil
Al-Qur’an dan Hadist
1. Al-hujurat 12
:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ
كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ
وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُڪُمۡ أَن يَأۡڪُلَ لَحۡمَ
أَخِيهِ مَيۡتً۬ا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ
تَوَّابٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (١٢)
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
mempergunjingkan sebagian yang lain….” (Al-Hujurat: 12)
2. Al Fath : 6
وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَـٰفِقَـٰتِ
وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَـٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ
عَلَيۡہِمۡ دَآٮِٕرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡہِمۡ وَلَعَنَهُمۡ
وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرً۬ا (٦)
“dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang musyrik laki-laki dan perempuan yang
berprasangka buruk terhadap Allah…” (Al-Fat-h: 6)
4.Hadist
Rasulullah SAW.
"Dari Abi
Hurairah berkata: Bersabda Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa-sallam:
Aku peringatkan kamu dari prasangka sesungguhnya prasangka itu adalah bisikan yang
paling bohong. Dan janganlah kamu mencari-cari rahsia (kelemahan, ke’aiban dan
keburukan saudaranya), janganlah merasa-rasakan (yang bukan-bukan), janganlah
kamu melakukan pertengkaran, jangan berhasad (dengki), jangan berbenci-bencian,
janganlah membelakangkan (saudaramu seagama). Dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara". ( H.R al-Bukhari ).
Aku peringatkan kamu dari prasangka sesungguhnya prasangka itu adalah bisikan yang
paling bohong. Dan janganlah kamu mencari-cari rahsia (kelemahan, ke’aiban dan
keburukan saudaranya), janganlah merasa-rasakan (yang bukan-bukan), janganlah
kamu melakukan pertengkaran, jangan berhasad (dengki), jangan berbenci-bencian,
janganlah membelakangkan (saudaramu seagama). Dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara". ( H.R al-Bukhari ).
BAB III
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, dan kami
menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk
itu apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf. Semoga makalah
ini berguna bagi kita semua.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, perbuatan suap menyuap,ghosob,dan
su'udzon itu dilarang atau (diharamkan), bagi yang melakukan perbuatan tersebut
akan mendapat laknat dari Allah swt,maka jangan salah gunakan harta allah
dengan cara yang tidak benar,Jangan menggunakan barang yang bukan hak kita
tanpa seijin dari pemiliknya dan berbaik sangkalah pada sesama apalagi pada
sang kholik .
DAFTAR
PUSTAKA
1)
Al-Qur’anul Karim
2) Hadist
Budi Luhur 101
3) kitab Nailu
al-awthan
4) http:/agama
4 c/ghosob 2.htm
5)
http:/ dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar