Senin, 08 Februari 2016

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN YANG DEMOKRATIS DAN HUMANISTIS



Abdul Hamid Aly
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Pasca Sarjana Universitas Islam Malang
E-mail: Sayidhasan5@gmail.com

Abstrak
Prinsip dasar pendidikan dan pembelajaran yang demokratis adalah memberi kepercayaan dan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk mengembangkan potensinya, karakternya, pengetahuannya, keterampilannya, dan kreativitasnya untuk mencapai cita-cita bersama bangsa ini. Pendidikan yang demokratis dalam pengertian luas hendaklah mampu memberdayakan semua kelompok (kelompok budaya, agama, organisasi, anak cacat, kelompok suku terasing, kelompok profesi, masyarakat desa tertinggal dan terpencil) tanpa batas-batas yang spesifik.Pendidikan humanis sebagai pemikiran pendidikan telah berkembang dengan mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan dari dua aliran, yaitu progresivisme dan eksistensialisme.Tetapi pendidikan humanis juga memperoleh dukungan dari para ahli psikologi humanistik dan ahli pendidikan kritis.

Kata Kunci :pendidikan,demokratis,humanis

Pendahuluan
Sistem pendidikan dan pembelajaran yang demokratis dan humanistis adalah sistem pendidikan yang memberikan ruang gerak yang luas dan penghargaan yang tinggi akan keunikan kelompok masyarakat dan keunikan setiap individu peserta didik. Setiap anak dilahirkan dalam sebuah matriks sosial tertentu, memiliki budaya yang berbeda-beda, agama yang berbeda, kecerdasan dan daya adaptasi yang berbeda, serta kondisi psikologi dan fisikologi yang berbeda. Semua kelompok masyarakat dan peserta didik yang berbeda tersebut perlu dikembangkan dan diberdayakan karakternya, pengetahuannya, keterampilannya, dan ktrtifitasnya. Dalam konsep Intelegensi Multipel setiap individu memiliki 8 kecerdasan mengolah informasi, tapi hanya ada satu kecerdasan yang dominan di dalam setiap individu
Finlandia adalah salah satu negara yang menerapkan sistem pendidikan yang demokratis dan humanis.Hasil survey internasional PISA pada tahun 2007 yang menempatkan prestasi peserta didik asal Finlandia dengan peringkat terbaik sedunia.Banyak kalangan begitu ingin tahu mengapa negara yang cenderung sangat ‘longgar’ perlakuannya terhadap peserta didik ini dapat meraih peringkat lebih tinggi dalam PISA daripada Korea Selatan yang beban belajar bagi masing-masing peserta didiknya adalah 50 jam per minggu, sangat padat bila dibandingkan dengan Finlandia yang hanya 30 jam per minggu.Terlebih lagi, sistem pendidikan Finlandia tidaklah mengenal Ujian Nasional (UN) sebagaimana Indonesia yang telahmenjadikannya sebagai ritual tahunan. Finlandia juga tidak mengenal adanya sistem rangking, maupun peserta didik yang tinggal kelas, apalagi tidak lulus sekolah, tidak seperti yang terjadi di Indonesia. Jadi Finlandia tidak mengkotak-kotakkan masyarakat pendidikannya.
Pendidikan dan pembelajaran berbagai bidang ilmu di sekolah saat ini terkesan gersang (kering) dari keindahan hidup, dijejali dengan hafalan teori dan sangat minim praktek, terlalu abstrak, dan kurang menyentuh value dan dimensi kemanusiaan dari bidang ilmu yang diajarkan. Seyogianya pendidikan dan pembelajaran sebagai bagian integral dari kebudayaan manusia dan oleh karenanya mempunyai karakteristik yang bersifat humanistis (manusiawi). Pendidikan dan pembelajaran yang demokrasi dan humanistis adalah praktek pendidikan dan pembelajaran yang membawa peserta didik nyaman dalam perbedaan (berbeda dalam kecerdasan/potensi, budaya, sukudan agama), kebebasan berpikir dan berkreasi, berkesempatan mengonstruksi estetika keilmuan, suasana akademik yang kolaboratif dan adaptif terhadap perubahan dengan orientasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang memiliki character/soft skills, life skills, dan survive dalam hidup.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan suatu ide yang masih terbatas terkait pentingnya

Pembahasan
Mengimplementasikan pendidikan yang demokratis dan humanistis di Indonesia dengan berbagai pertimbangan fenomena yang terjadi ditengah-tengah bangsa yang besar ini, dan kenyataannya telah digariskan dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pada pasal 4 ayat 1 sampai 6.
Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Di Indonesia Menuntut Pendidikan yang Demokratis dan Humanistis
Prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia tertuang dalam UU Sisdiknas Tahun 2003, pasal 4 ayat 1 sampai 6.Pada ayat 1 dinyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Namun pasal-pasal selanjutnya dalam UU Sisdiknas sendiri ternyata memperlakukan peserta didik dengan cara yang sangat diskriminatif, sebagaimana pasal 5 ayat 2 hingga 4, yang menyatakan bahwa hanya warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, atau tinggal di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, yang mekanismenya tidak dipaparkan dengan jelas bahkan tidak tersedia peraturan pemerintah untuk implementasinya.
Landasan hukum inilah yang akhirnya menjadi dasar bagi sekolah-sekolah untuk mengadakan kelas unggulan yang berisi peserta didik yang dianggap oleh sekolah memiliki tingkat intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Peserta didik di kelas unggulan biasanya mendapatkan fasilitas lebih, berupa tambahan mata pelajaran intensif dan juga tenaga pendidik dengan kapasitas lebih.Perlakuan khusus yang dapat diterjemahkan sebagai pendidikan khusus ini menimbulkan kecemburuan sosial di antara peserta didik karena persaingan tidak sehat yang diciptakan oleh sekolah. Terlebih lagi kemunculan label sekolah favorit dan sekolah tidak favorit, label SSN dan SBI, yang telah mengkotak-kotakkan level sekolah sehingga juga memunculkan persaingan yang tidak sehat di antara masing-masing sekolah yang tentu saja akan berimplikasi negatif pada peserta didik.
Sebagaimana tergambar dalam prinsip-prinsip penyelenggaraan sistem pendidikan UU Sisdiknas, sebenarnya negara ini memiliki niat menerapkan prinsip pendidikan yang demokratis dan humanistis, tetapi masih sebatas retorika, belum diwujudkan dalampraktek pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Hal ini dapat dicermati dalam proses pembelajaran, guru lebih cenderung menganut paham behavioristik (dehumanis) dengan prinsip teori tabularasa dari John Locke. John Locke beranggapan bahwa pendidikan adalah penentu masa depan seseorang sebab manusia dilahirkan bagaikan kertas putih yang masih kosong. Tulisan di atas kertas putih yang kosong itulah yang menentukan baik buruknya manusia.Hal ini bertentangan prinsip pembelajaran yang humanis, yang menekankan bahwa sejak lahir manusia sudah membawa potensi dan bakat yang menentukan masa depannya sedangkan pendidikan dan lingkungan hidup/belajar peserta didik adalah pemicu potensi dan bakat yang dimiliki peserta didik menjadi lebih matang.

Pendidikan yang Demokratis dan Humanis
Prinsip dasar pendidikan dan pembelajaran yang demokratis adalah memberi kepercayaan dan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk mengembangkanpotensinya, karakternya, pengetahuannya, keterampilannya, dan kreativitasnya untuk mencapai cita-cita bersama bangsa ini. Pendidikan yang demokratis dalam pengertian luas hendaklah mampu memberdayakan semua kelompok (kelompok budaya, agama, organisasi, anak cacat, kelompok suku terasing, kelompok profesi, masyarakat desa tertinggal dan terpencil) tanpa batas-batas yang spesifik.
Berdasarkan kelompok sasaran tersebut, dapat digambarkan bagaimana variasi pendidikan yang perlu diupayakan.Semua jenis kelompok ini harus dapat diberdayakan dan tidak ada yang disisihkan kalau ingin diciptakan pendidikan yang benar-benar demokratis. Dinamika program pendidikan tidak lain adalah: (1) pendidikan tersebut bersumber pada dan dibangun atas landasan pola kebenaran setempat (lokal, regional, dan nasional), (2) visi dan misi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat yang otonom.
Pihak permerintah, masyarakat, danorganisasi bisa menyiapkan lembaga pendidikan yang memberi kesempatan pada setiap orang bebas memilih secara adil sesuai keinginannya untuk mengembangkan jati dirinya.Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang lebih luas, yaitu tercapainya cita-cita bersama, sehingga memungkinkan anggotanya untuk lebih berkembang, lebih makmur, dan lebih berbahagia. Jadi dasar demokratisasi tidak lain adalah kepercayaan, pengakuan atas kebebasan manusia dan kesempatan yang diberikan kepadanya untuk berkembang dan keharusan untuk bertanggungjawab bersama dan demi kepentingan bersama (Tilaar, 2002:351).
agar manusia menjadi lebih manusiawi dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Mardiatmaja sebagaimana dikutip oleh T. Sarkim (1998), sebagai berikut:
a.      Dalam proses pendidikan, pengembangan hati dan pikiran harus berjalan secara bersama-sama;
b.     Peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi dan universal;
c.      Dalam  pendidikan  harus  ada
kerjasama erat antara peserta didik dan pendidik, juga antara teori dan praktek.

Pembelajaran yang sejalan dengan ketiga prinsip di atas lebih cenderung menganut paham konstruktivisme (khususnya aliran konstruktivis sosial dari Vygotsky).Intinya, pendidikan humanis dapat dipahami sebagai model pendidikan yang memuliakan manusia atas potensi-potensi kemanusiaan yang sudah ada dalam dirinya.Pada model pendidikan ini, manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, sehingga pendidikan harus berpusat pada peserta didik dan bukan pada pendidik. Selama tujuan pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik terhadap realitas yang ada di sekitarnya dan menyadarkan mereka akan proses humanisasi yang terjadi atasnya, maka peserta didik tidak lagi dijejali dengan hapalan teori melainkan dengan membawa mereka pada realitas itu sendiri, melalui integrasi antara teori dengan praktek.
Salah satu jalan untuk dapat menciptakan pendidikan yang demokratis dan humanis adalah pendidikan kewargaan. Pendidikan kewargaan yang paling penting adalah yang menyangkut muatan proses-proses demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, partisipasi aktif, dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani
Pendidikan humanis sebagai pemikiran pendidikan telah berkembang dengan mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan dari dua aliran, yaitu progresivisme dan eksistensialisme.Tetapi pendidikan humanis juga memperoleh dukungan dari para ahli psikologi humanistik dan ahli pendidikan kritis.Prinsip-prinsip pendidik humanis yang diambil dari prinsip progresivisme adalah prinsip pendidikan yang berpusat pada anak (child centered), peran guru yang tidak otoriter, fokus pada keterlibatan dan aktivitas peserta didik, dan aspek pendidikan yang demokratis dan kooperatif.Prinsip-prinsip pendidikan ini adalah sebagai reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan pada metode pengajaran formal yang kurang memberi kebebasan pada peserta didik sehingga peserta didik menjadi tidak kreatif yang sekadar mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh orang dewasa.
Prinsip-prinsip pendidikan yang humanis adalah (1) guru yang otoriter, (2) metode yang menekankan pada buku teks, (3) belajar pasif, (4) pendidikan membatasi pada ruang kelas sehingga terasing dari realita kehidupan sosial, (5) penggunaan hukuman fisik atau rasa takut sebagai bentuk pembangun disiplin. Jadi motivasi yang ditanamkan adalah motivasi ekternal, bukan membangun motivasi internal dalam diri peserta didik.
Dalam ide sekolah demokratis dikemukakan kondisi atau persyaratan yang dikembangkan oleh James A. Beane dan Michael W. Apple sebagai berikut (Rosyada, 2004:16):
a.      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang
bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
b.    Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yangmereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
c.      Menyampiakan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
d.     Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
e.      Mengembangkan kondisi demokratis dalam kehidupan manusia yang dimulai dari anak-anak sekolah dan praktek desain pembelajaran.
f.      Kepedulian terhadap martabat, harga diri, hak-hak individu, dan hak-hak minoritas.
g.     Secara institusional sekolah sebagai wadah penerapan dan mempromosikan serta mengembangkan cara-cara hidup demokratis.

Sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang telah disebutkan di atas maka para pendidik humanis memilikipandangan tentang pendidikan sebagai berikut:
1). Tujuan pendidikan dan proses pendidikan berasal dari anak (peserta didik). Oleh karenanya, kurikulum dan tujuan pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan prakarsa anak.
2). Peserta didik adalah aktif bukan pasif. Anak memiliki keinginan belajar dan akan melakukan aktivitas belajar apabila mereka tidak difrustasikan belajarnya oleh orang dewasa atau penguasa yang memaksakan keinginannya.
3). Peran guru adalah sebagai fasilitator, motivator, penasihat, pembimbing, mitra belajar bagi peserta didik, bukan penguasa kelas. Tugas guru ialah membelajarkan peserta didik sehingga peserta didik memiliki kemandirian dalam belajar. Guru berperan sebagai pembimbing dan melakukan kegiatan menggali, mengonstruksi dan menemukan pengetahuan bersama peserta didik. Tidak boleh ada pengajaran yang bersifat otoriter, di mana gurusebagai penguasa dan murid menyesuaikan.
4). Sekolah sebagai bentuk kecil dari masyarakat luas. Pendidikan dan pembelajaran seharusnya fleksibel, dalam arti dapat dilakukan di dalam dan luar kelas, di perpustakaan, di laboratorium, bahkan di tempat sumber masalah yang akan dipecahkan. Pendidikan yang bermakna adalah pendidikán yang berguna bagi peserta didik dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat.
5). Aktivitas belajar harus berfokus pada pemecahan masalah autentik, bukan sekadar memindahkan ilmu pengetahuan. Pemecahan masalah adalah bagian dari kegiatan kehidupan.Oleh karenanya, pendidikan harus membangun kemajuan peserta didik untuk memecahkan masalah.Kegiatan pendidikan bukan sebagai pemberian informasi dari guru kepada peserta didik, yang terbatas sebagai aktivitas mengumpulkan dan mengingat kembali pengetahuan statis.
6). Iklim sekolah harus demokratis dan kooperatif karena kehidupan di masyarakat selalu hidup bersama orang lain, maka setiap orang harus mampu berkolaborasi dengan orang lain.
Dalam realita pendidikan tradisional sering peserta didik dilarang untuk berbicara, berpindah tempat, atau kerja sama dengan peserta didik lain. Iklim demokratis dalam kelas dibutuhkan agar peserta didik dapat hidup secara demokratis di masyarakat.Prinsip-prinsip pendidikan yang humanis diambil dari pandangan progresivisme, yang lebih menekankan bahwa individu sebagai satuan sosial (anggota masyarakat).Sedangkan prinsip pendidikan humanis yang diambil dari pandangan eksistensialisme adalah menekankan pada keunikan peserta didik sebagai individu. Setiap peserta didik dipandang sebagai individu yang memiliki keunikan yang berbeda dengan peserta didik lain. Perbedaan keunikan individu peserta didik dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran harus dapat tampak dan dihargai oleh pendidik atau guru.
Pandanganeksistensialis yang diambil oleh pendidik humanis adalah adanya kemerdekaan atau kebebasan dalam diri individu untuk memilih apa yang dianggap benar bagi dirinya untuk dapat membangun dirinya menjadi (to become) seperti apa yang diinginkan. Kelahiran sebagai wujud keberadaan (eksistensi) individu di dunia adalah titik awal bagi individu untuk mengembangkan esensi dirinya. Esensi diri manusia dibangun melalui proses kehidupan di mana individu memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk menjadi apa adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru adalah sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan. Nilai-nilai keagamaan berada dalam diri individu yang memperoleh pemaknaan oleh individu masing-masing, tidak ada otoritas di luar diri individu yang dapat memberikan makna. Apabila individu melakukan perubahan makna akan pengetahuan, nilai-nilai,


PENUTUP
Indonesia telah menggariskan prinsip penyelenggaraan pendidikannya yang demokratis dan humanistis, namun masih sekedar selogan (bersifat retorik) dalam UU Sisdiknas.Prinsip pendidikan dan pembelajaran yang demokratis dan humanis belum tampak diwujudkan praktek pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah.Pengelolaan pendidikan kita masih membeda-bedakan kelompok masyarakat, organisasi, budaya, agama, dan pembelajarannya masih menganut prinsip behavioristik yang sangat dehumanis dalam sistem pendidikannya. Namun bila penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia mau lebih banyak belajar dari sistem pendidikan negara-negara yang telah menerapkan pendidikan dan pembelajaran yang demokratis dan humanis, bukannya tidak mungkin lambat laun Indonesia yang kaya dengan potensi SDM, budaya dan SDA ini dapat segera bangkit dari krisis yang sedang melanda negeri ini.
Untuk mewujudkan sistem pendidikan yang demokratis dan humanistis, pemerintah dan sekolah mengharuskan tenaga edukatif hijrah dari paradigma guru mengajar (behavioristik) menuju paradigma siswa belajar

REFERENSI

Daniel    Mohammad Rosyi.   2008.Keaduhan Nasional.  Jakarta: Rosma Press. Indonesia.

Delors, J. 1996. Four Pillars ofLearning.Cirebon: Ilhami Press. Indonesia.

Gardner, H. 2004. Changing Minds.Boston, MA: Harvard Business
School Press.

Gardner, H. 2006. Five Minds for theFuture. Boston, MA: HarvardBusiness School Press.

Hogan-Garcia, M. 2003.The FourSkills of Cultural Diversity Competence: a Process for

Rosyada,  Dede.  2004.  ParadigmaPenddikan         Demokratis.
Jakarta: Prenada Media.


Raka Joni, T. 2008a. ChangingParenting Styles: Nurturing Cultural Diversity Competence in Indonesia. Makalahdisajikan dalam Konggres ke-5 Asosiasi Psikoterapis se-Asia Pasifik, tanggal 5 - 7 April 2008, di Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar