Senin, 12 Agustus 2019

TENTANG MAKNA MEMAKMURKAN MASJID

Cerita Kiai Maimoen Zubair saat Menguji Kiai Subhan Makmun

“Satu ketika saya diundang oleh Mbah Maemun Zubair dalam sebuah acara di pesantren beliau di Sarang Rembang,” kata Kiai Subhan Makmun mengawali cerita, Ahad (1/4).

Kepada Kiai Subhan Mbah Maemun berkata, “Gus, tolong jawab pertanyaan saya. Kalau Anda tidak mau jawab, maka saya tidak mau naik panggung.”

“Pertanyaan apa, kiai?” tanya Kiai Subhan.

Lalu Mbah Maemun memberikan pertanyaannya, “Apa bedanya kalimat innamâ ya’muru masâjidallah dan kalimat inaamâ yu’ammiru masâjidallah? Mengapa di dalam Al-Qur’an bunyinya innamâ ya’muru masâjidallah bukan inaamâ yu’ammiru masâjidallah?”

Mendapat pertanyaan seperti itu Kiai Subhan menjawab, “Kalau ya’muru maka bentuk masdarnya ‘imârah, sedangkan yu’ammiru bentuk masdarnya ta’mîr.”

“Saya tidak bertanya soal ilmu sharaf, Gus.," timpal Mbah Maemun.

“Yang saya tanyakan adalah faedahnya. Apa faedahnya Al-Qur’an menyebutkan innamâ ya’muru masâjidallah bukan inaamâ yu’ammiru masâjidallah?”

Mendapat pertanyaan demikian sejenak Kiai Subhan terdiam. Ia merasa sedang diuji oeh Mbah Maemun. Namun tak berapa lama dalam diamnya Kiai Subhan tiba-tiba serasa disodori kitab Tafsir Baidlowi yang pernah ia pelajari di tahun delapan puluhan. Dengan sangat jelas ia teringat apa yang pernah dipelajari di dalam kitab tafsir tersebut yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang sedang dihadapi.

Maka kemudian Kiai Subhan menyampaikan jawaban kepada Mbah Maemun, “Kalau ya’muru itu meramaikan masjid dengan kegiatan-kegiatan seperti shalat tahiyatul masjid, pembacaan Al-Qur’an, dzikir dan lain sebagainya. Sedangkan yu’ammiru itu meramaikan masjid dengan menghiasi bangunannya saja.”

Ternyata apa yang disampaikan oleh Kiai Subhan dibenarkan Mbah Maemun dan pada akhirnya berkenan untuk naik ke panggung untuk menjelaskan perihal masjid.

Pada lain kesempatan setelah beberapa tahun kemudian, Kiai Subhan melakukan perjalanan ziarah ke beberapa daerah. Hingga pada waktu tengah malam mampir ke sebuah masjid untuk shalat.

Kepada penjaga masjid yang ada, Kiai Subhan meminta untuk dibukakan masjid. Namun sang penjaga menolak dengan alasan bahwa keputusan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) menghendaki masjid hanya dibuka ketika waktu shalat saja. Meski Kiai Subhan terus meminta, namun penjaga itu tetap tak mau membukakannya.

“Atas peristiwa ini,” lanjut Kiai Subhan dalam ceritanya yang disampaikan dalam acara peringatan Isra Mi’raj di Masjid Agung Kota Tegal, Ahad (1/4). “saya teringat dahulu pernah ditanya oleh Mbah Maemun tentang beda ya’muru dan yu’ammiru," katanya.

Ternyata banyak pengurus masjid di berbagai daerah hanya melakukan ta’mîr, bukan ‘imârah” kenangnya. Mereka hanya membangun masjid dengan megah dan menghiasinya dengan indah, namun tidak banyak meramaikannya dengan kegiatan ibadah, lanjutnya.

Karenanya pula Kiai Subhan meminta kepada pengurus masjid Agung di Brebes, tempat di mana Kiai Subhan tinggal untuk tidak menutup masjid selama dua puluh empat jam agar siapapun bisa melakukan shalat di dalamnya kapanpun mereka datang.

“Dan alhamdulillah Masjid Agung Brebes selama dua puluh empat jam selalu ramai dikunjungi para musafir yang hendak melakukan shalat,” pungkasnya. (Yazid Muttaqin/Ibnu Nawawi)

0 komentar:

Posting Komentar