Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ketika menyambut hari ‘Asyura, banyak amal ibadah yang dilakukan umat Islam, seperti berpuasa, bersedekah, dan lain-lain. Sebenarnya amaliah apa yang paling dianjurkan di hari ‘Asyura? Dan adakah dalilnya?.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
(Lukman- Mojokerto)
____________________
Admin- Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Dalam kitabnya yang berjudul I’anah At-Thalibin,[1] Sayyid Abu Bakar Muhammad Syata ad-Dimyati menyebutkan ada sekitar dua belas amaliah ibadah yang dapat dilakukan untuk memuliakan hari ‘Asyura, yakni salat, puasa, silaturrahim, sedekah, mandi, memakai celak, mengunjungi ulama, menjenguk saudara yang sakit, memberi kelonggaran nafkah keluarga, memotong kuku, dan membaca surat Al-Ikhlas seribu kali.
Namun dalam penjelasan selanjutnya, mengutip pendapat imam Al-Ajhuri yang berkomentar bahwa apa yang diriwayatkan berupa amalan-amalan yang dilakukan di hari ‘Asyura tidak ada yang Shahih kecuali hadis tentang puasa dan melonggarkan nafkah keluarga.
Mengenai kesunahan berpuasa dan memperlonggar nafkah keluarga pada hari Asyuro’, dalam kitab tersebut mengutip salah satu hadis Rasulullah saw.:
إِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ افْتَرَضَ عَلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ صَوْمَ يَوِمٍ فِي السَّنَةِ، وَهُوَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ وَهُوَ الْيَوْمُ الْعَاشِرُ مِنَ الْمُحَرَّمِ – فَصُوْمُوْهُ وَوَسِّعُوْا عَلَى عِيَالِكُمْ فِيْهِ، فَإِنَّهُ مَنْ َوَسَّعَ فِيْهِ عَلَى عِيَالِهِ وَأَهْلِهِ مِنْ مَالِهِ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menfardhukan kepada bani Israil, untuk puasa satu hari dalam setahun pada hari ‘Asyura, yaitu hari ke sepuluh dari bulan Muharram. Maka dari itu hendaklah kalian berpuasa ‘Asyura dan lapangkanlah nafkah kalian pada hari itu. Karena sesungguhnya barang siapa yang melapangkan nafkah dirinya dan keluarganya dari hartanya sendiri pada hari ‘Asyura niscaya Allah akan melapangkan rizkinya di sepanjang tahun.” (HR. Al-Baihaqi)
Meskipun demikian, amaliah-amaliah tersebut tetap boleh dilaksanakan dengan memandang keumuman dalil yang menjadi dasar masing-masing. Seandainya hadis yang digunakan adalah hadis Dhaif (lemah), maka hal itu tidak perlu dipermasalahkan. Karena pada dasarnya, sisi “lemah” hadis Dhaif hanya dikarenakan proses periwayatannya, sehingga boleh diamalkan dalam konteks Fadoilul a’mal (keutamaan-keutamaan amal). waAllahu a’lam
[1] Hasyiyah I’anah At-Thalibin, juz 2 hal 302, CD. Maktabah Syamilah.
lirboyo.net
0 komentar:
Posting Komentar