Nilai seseorang adalah sesuai dengan apa-apa yang diinginkannya.
Ibnu Rajab al-Hanbaly rahimahullah berkata:
قيمة كل إنسان ما يطلب، فمن كان يطلب الدنيا فلا أدنى منه فإن الدنيا دنية.
"Nilai setiap orang tergantung pada hal-hal yang menjadi keinginannya, jadi siapa yang keinginannya adalah dunia maka tidak ada yang lebih rendah darinya, karena sesungguhnya dunia ini adalah sesuatu yang rendah."
(Lathaiful Ma’arif, hlm. 245)
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan:
الدنيا كالظل لو لاحقتها تهرب منك و لو اعطيتها ظهرك تلاحقك.
"Dunia itu ibarat bayangan, bila kau kejar, dia akan lari darimu. Tapi bila kau palingkan badanmu, dia tak punya pilihan lain kecuali mengikutimu".
Apa yang dikatakan Ibnul Qayyim di atas selaras dengan Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam berikut ini:
مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
“Siapa yang obsesi hidupnya akhirat, maka Allah Azza wa Jalla akan menjadikan kekayannya berada di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Sebaliknya, siapa yang menjadikan dunia sebagai obsesinya, maka Allah Azza wa Jalla akan meletakkan kefaqiran di depan kedua matanya, Dia akan mencerai-beraikan urusannya, sementara dunia tidak mendatanginya kecuali sebatas apa yang telah ditakdirkan baginya.”
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Setiap penggalan episode kehidupan selalu menyajikan pilihan-pilihannya sendiri.
Di sini kita hanya punya dua pilihan, mengejar bayangan semu atau berbalik menuju kepastian. Tak ada pilihan ketiga, sebab kita tak mungkin berhenti, karena dengan berhenti itu artinya kita telah memilih untuk binasa.
Teruslah melangkah maju...
Sesekali lihatlah bayang itu, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Azza wa Jalla kepadamu (berupa kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi”.
(QS. Al Qashshash: 77)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
«الدنيا دارُ عمل، والآخرةُ دار جزاء، فَمَنْ لم يعمل هنا؛ نَدُمَ هناك»
"Dunia ini adalah negeri untuk beramal, sedangkan akhirat adalah negeri balasan, maka siapa yang tidak beramal di sini, dia pasti akan menyesal di sana."
(Az-Zuhd, karya al-Baihaqy, No. 725).
Kita diperintahkan untuk senantiasa bersyukur kehadirat Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita. Syukur inilah yang kita buktikan dengan taqwa sebagaimana yang Allah perintahkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
(QS. Ali Imran: 102).
Karena hakikat syukur adalah menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat sebagaimana kata Abu Hazim mengenai syukur dengan anggota badan adalah,
أَنْ تُكَفَّ عَنِ المَعَاصِي ، وَتُسْتَعْمَلَ فِي الطَّاعَاتِ
“Engkau tahan anggota badanmu dari maksiat dan engkau tinggalkan dalam ketaatan pada Allah.”
(Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:84).
Adapun tanda-tanda orang cinta dunia adalah gila harta, gila jabatan, gila kehormatan, gila ketenaran; hidup mewah dengan pakaian, makanan dan minuman; waktunya sibuk mengejar dunia; ia mengejar dunia lewat amalan akhirat; juga lalai dari ibadah...
Orang yang cinta dunia bisa saja mengorbankan agama dan lebih memilih kekafiran. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia.”
(HR. Muslim no. 118)
Para pecinta dunia menjadikan hati lalai dari mengingat akhirat sehingga kurang dalam beramal shalih.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى
“Siapa yang begitu gila dengan dunianya, maka itu akan memudaratkan akhiratnya. Siapa yang begitu cinta akhiratnya, maka itu akan mengurangi kecintaannya pada dunia. Dahulukanlah negeri yang akan kekal abadi (akhirat) dari negeri yang akan fana (dunia).”
(HR. Ahmad, 4:412. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi.)
Dalam surat Adz-Dzariyat juga disebutkan,
قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11)
“Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.”
(QS. Adz-Dzariyat: 10-11)
Yang dimaksud “alladzina hum fii ghamrah” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi.
Cinta dunia juga akan menjadikan seseorang kurang mendapatkan kelezatan ketika berdzikir.
Di dalam Majmu’ah Al-Fatawa (9:312), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan perkataaan ulama Syam yaitu Sulaiman Al-Khawwash, “Dzikir bagi hati kedudukannya seperti makanan untuk badan. Ketika badan sakit, tentu seseorang sulit merasakan lezatnya makanan. Demikian pula untuk hati tidak bisa merasakan nikmatnya dzikir ketika seseorang terlalu cinta dunia.”
Saudaraku,
Orang yang mengejar dunia urusannya akan jadi sulit. Berbeda jika seseorang mengutamakan akhirat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”
(HR. Tirmidzi, no. 2465. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Agar kita terhindar dari cinta dunia maka kita harus yakin dunia itu fana dibanding akhirat yang kekal abadi. Kita harus senantiasa _qana’ah_ (menerima) dengan apa saja yang Allah Azza wa Jalla telah berikan. Kita harus mendahulukan ridha Allah Azza wa Jalla daripada hawa nafsu dan kepentingan dunia, karena akan memperoleh kenikmatan begitu banyak di surga.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.”
(HR. Muslim, no. 2392)
Al-Munawi rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafatih menjelaskan, “Dikatakan dalam penjara karena orang mukmin terhalang untuk mengumbar syahwat yang diharamkan. Sedangkan keadaan orang kafir adalah sebaliknya sehingga seakan-akan ia berada di surga.”
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah untuk senantiasa qana'ah, tidak silau dengan gemerlap kehidupan dunia yang fana ini...
Aamiin Ya Rabb.
Wallahua'lam bishawab
FB- Pecinta Habaib