Dalam proses menuntut ilmu termasuk ilmu agama, kita mesti menghormati guru kita agar ilmu yang diajarkannya dapat bermanfaat dan berguna di dunia dan di akhirat. Bahkan tak jarang kita melihat para santri di pesantren banyak mendoakan para masyaikh mereka, yang hidup maupun yang telah wafat.
Jasa para guru begitu besar di antaranya telah mendirikan pondok untuk tempat menuntut ilmu. Hal ini telah dicontohkan oleh ulama terdahulu, yang mana memiliki ilmu tak hanya semata karena giatnya belajar, namun karena berkah dari guru-guru mereka. Sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Guddah dalam Hasyiyah-nya atas Kitab Risâlatul Mustarsyidin karya Al-Harits Al-Muhasibi dari Kitab Faydhul Qadîr:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (تَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Rendah hatilah kepada orang yang mengajarkan kalian.’” Al-Munawi menambahkan penjelasan hadits di atas, “Sungguh ilmu tidak didapatkan kecuali dengan rendah hati dan mendengarkan, sedangkan kerendahhatian seorang murid kepada gurunya adalah sebuah adab pekerti yang tinggi, sikap rendah hati terhadap guru adalah sebuah kemuliaan, dan ketundukan kepadanya merupakan sebuah kebanggaan,”
Salah seorang ulama besar yang patut dicontoh adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Konon ia berguru kepada seseorang yang bernama Husyaim bin Basyir Al-Wâsithi selama lima tahun. Ia berkata, “Aku tidak pernah sama sekali meminta sesuatu kepadanya, sebab penghormatan kepadanya, kecuali dua kali.”
Diceritakan pula, bahwa Imam As-Syafi’i, setiap kali memegang lembaran kertas kitab, ia memegangnya dengan lembut dan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, khawatir Imam Malik mendengarnya. Begitupula dengan muridnya Imam As-Syafi’i, Ar-Rabî’ bin Sulaiman, ia mengatakan, “Demi Allah aku tak berani minum, sedang Imam As-Syafi’i sedang melihatku.” Telah diriwayatkan dalam Kitab Manaqib al-Imam Abu Hanifah yang disusun oleh Al-Khuwârizmi, Imam Abu Hanifah berkata, “Aku tak penah menyelonjorkan kakiku menghadap rumah guruku, Hammad, karena menghormatinya. Sedang jarak antara rumahku dan rumahnya hanya sekitar tujuh langkah kaki.” Kemudian ia melanjutkan, “Dan aku tidak shalat sejak wafatnya guruku itu melainkan aku meminta ampunan untuknya, dan untuk orang tuaku. Sungguh aku tentulah meminta ampunan untuk orang-orang yang telah mengajariku ilmu.”
Begitupula Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, ia mengatakan, “Sungguh aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan orang tuaku.” Tak kalah pula, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Tidaklah aku tidur sejak tiga puluh tahun, melainkan aku pasti mendoakan Imam As-Syafi’I dan meminta ampunan untuknya.”
Suatu hari, anak Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menanyakan kepadanya, “Wahai ayahku, bagaimana sosok Imam As-Syafi’i itu? Aku mendengar bahwa engkau banyak mendoakannya.” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Wahai anakku, Imam As-Syafi’i itu diperumpamakan seperti matahari bagi dunia, dan kesehatan bagi manusia. Lihatlah, apakah kedua benda itu memiliki pengganti?”
Dari kisah-kisah di atas, kita dapat mengambil simpulan, betapa pentingnya mendoakan guru-guru kita, yang masih hidup dan yang telah wafat. Syekh Abdul Fattah Abu Guddah menuliskan lafal doa untuk mendoakan guru-guru kita semua.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
"Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajarkan kami. Sayangilah mereka. Muliakanlah mereka dengan ridha-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.”
Demikian doa untuk meminta ampunan bagi guru-guru kita semua. Semoga para masyayich lirboyo & para ulama selalu diberi kesehatan & panjang umur, agar dapat membimbing kita, Semoga kita diberikan manfaat ilmu dari semua yang kita pelajari, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a‘lam.
(Imam Al-Haris Al-Muhasibi, Risâlatul Mustarsyidin, [Darus Salam], halaman 141).
0 komentar:
Posting Komentar